Suhu dingin yang ekstrem menghantui para petani kentang di Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah. Secara perlahan, hektaran lahan kentang milik para petani perlahan layu dan akhirnya mati akibat tak kuat terkena suhu dingin di bawah 10 derajat Celsius.
Menurutnya, beradasarkan ilmu titen atau kearifan lokal warga sekitar, tanda semacam itu adalah awal mula dari munculnya bun upas, embun beku akibat cuaca ekstrem bersuhu 0 derajat atau suhu minus. “Ternyata benar, selepas subuh, saya berkeliling di areal sekitar Kawasan Candi Arjuna Wisata Dieng. Meski masih gelap, sudah terlihat warna putih menghampar. Bun upas telah turun. Pemandangan putih itu terlihat pada sepanjang areal tanaman kentang yang biasanya berwarha hijau. Bahkan, pada saat saya mengecek plastik penutup tanaman, ternyata di atasnya ada es batu tipis seperti kaca,” katanya.
Meski bakal mencair setelah matahari bersinar, tetapi bun upas meninggalkan dampak bagi tanaman kentang. “Setelah warna putih menghilang karena mencairnya embun beku, maka daun tanaman kentang tidak lagi biru, melainkan berwarna coklat kehitaman. Itu adalah tanda mengeringnya tanaman kentang. Biasanya, kalau daun sudah mengering nantinya juga diikuti batangnya. Kalau tanaman kentang terkena bun upas masih berumur di bawah 60 hari, dipastikan bakal puso. Namun, jika sudah cukup umur atau usia panen, maka akan lebih kuat. Paling dampaknya adalah penurunan produksi,”ungkapnya.
Petani kentang lainnya di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Tarno mengungkapkan mereka hanya bisa pasrah dengan munculnya bun upas. Sebab, hampir setiap tahun embun beku terjadi. “Kami hanya bisa pasrah saja, karena antisipasi sulit dilakukan kalau sudah turun bun upas. Misalnya, bisa saja dengan menutup tanaman kentang menggunakan plastik di atasnya. Tetapi, berdampak pada tidak maksimalnya umbi kentang. Biasanya lebih kecil-kecil umbinya,” jelasnya.
Biasanya petani kentang wilayah datar di kawasan sekitar Candi Arjuna Wisata Dieng, mengantisipasi bun upas dengan memajukan tanam menjelang Juli dan Agustus. “Tetapi perkiraan kami ternyata meleset. Bun upas datang lebih awal, karena biasanya bun upas datang pada akhir Juli hingga awal Agustus,”ungkapnya.
Sementara petani dari Desa Dieng Kulon mengatakan 1.500 m2 lahannya sebagian terkena bun upas. “Kalau dalam kondisi normal, areal luas itu mampu menghasilkan antar 2,5-3,5 ton kentang. Tetapi karena sebagian terkena bun upas, maka produksi dipastikan turun. Paling-paling, saya hanya dapat memanen 1,5 ton. Itu masih ada catatannya, kalau tidak ada bun upas turun lagi,”katanya.
Pada musim kemarau, khususnya di wilayah pegunungan akan berpeluang mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celcius, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan. “Saat malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau 0 derajat,”tambahnya.
Sementara Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie menerangkan kalau berdasarkan pengamatan di lereng pegunungan Dieng pada awal Juli lalu, memang cukup dingin.
Ia mengungkapkan fenomena bun upas, tentu saja disebabkan oleh suhu ekstrem, antara 0 derajat Celcius sampai minus. Inilah mengapa kemudian muncul embun beku. Apakah kemungkinan embun beku masih bisa terjadi lagi? Setyoadjie memperkirakan bisa saja terjadi. “Embun beku masih berpotensi muncul lagi di dataran tinggi Dieng. Kalau waktunya tidak bisa dipastikan. Namun, kemungkinan terjadi masih ada, karena puncak musim kemarau di Banjarnegara diperkirakan pada bulan Agustus. Namun demikian, durasi fenomena embun beku tidak lebih dari seminggu,”katanya.
Fenomena embun beku terjadi pada saat suhu di titik beku. Di wisata Dieng memang potensial terjadi, apalagi kawasan itu memiliki ketinggian 2.093 mdpl.
Gambar 1.1 suhu ekstrim dieng |
Menurutnya, beradasarkan ilmu titen atau kearifan lokal warga sekitar, tanda semacam itu adalah awal mula dari munculnya bun upas, embun beku akibat cuaca ekstrem bersuhu 0 derajat atau suhu minus. “Ternyata benar, selepas subuh, saya berkeliling di areal sekitar Kawasan Candi Arjuna Wisata Dieng. Meski masih gelap, sudah terlihat warna putih menghampar. Bun upas telah turun. Pemandangan putih itu terlihat pada sepanjang areal tanaman kentang yang biasanya berwarha hijau. Bahkan, pada saat saya mengecek plastik penutup tanaman, ternyata di atasnya ada es batu tipis seperti kaca,” katanya.
Meski bakal mencair setelah matahari bersinar, tetapi bun upas meninggalkan dampak bagi tanaman kentang. “Setelah warna putih menghilang karena mencairnya embun beku, maka daun tanaman kentang tidak lagi biru, melainkan berwarna coklat kehitaman. Itu adalah tanda mengeringnya tanaman kentang. Biasanya, kalau daun sudah mengering nantinya juga diikuti batangnya. Kalau tanaman kentang terkena bun upas masih berumur di bawah 60 hari, dipastikan bakal puso. Namun, jika sudah cukup umur atau usia panen, maka akan lebih kuat. Paling dampaknya adalah penurunan produksi,”ungkapnya.
Gambar 1.2 lahan petani diselimuti es |
Petani kentang lainnya di Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo, Tarno mengungkapkan mereka hanya bisa pasrah dengan munculnya bun upas. Sebab, hampir setiap tahun embun beku terjadi. “Kami hanya bisa pasrah saja, karena antisipasi sulit dilakukan kalau sudah turun bun upas. Misalnya, bisa saja dengan menutup tanaman kentang menggunakan plastik di atasnya. Tetapi, berdampak pada tidak maksimalnya umbi kentang. Biasanya lebih kecil-kecil umbinya,” jelasnya.
Biasanya petani kentang wilayah datar di kawasan sekitar Candi Arjuna Wisata Dieng, mengantisipasi bun upas dengan memajukan tanam menjelang Juli dan Agustus. “Tetapi perkiraan kami ternyata meleset. Bun upas datang lebih awal, karena biasanya bun upas datang pada akhir Juli hingga awal Agustus,”ungkapnya.
Gambar 1.3 kompleks candi diselimuti es |
Sementara petani dari Desa Dieng Kulon mengatakan 1.500 m2 lahannya sebagian terkena bun upas. “Kalau dalam kondisi normal, areal luas itu mampu menghasilkan antar 2,5-3,5 ton kentang. Tetapi karena sebagian terkena bun upas, maka produksi dipastikan turun. Paling-paling, saya hanya dapat memanen 1,5 ton. Itu masih ada catatannya, kalau tidak ada bun upas turun lagi,”katanya.
Pada musim kemarau, khususnya di wilayah pegunungan akan berpeluang mengalami kondisi udara permukaan kurang dari titik beku 0 derajat Celcius, disebabkan molekul udara di daerah pegunungan lebih renggang dari pada dataran rendah sehingga sangat cepat mengalami pendinginan. “Saat malam hari uap air di udara akan mengalami kondensasi dan kemudian mengembun untuk menempel jatuh di tanah, dedaunan atau rumput. Air embun yang menempel dipucuk daun atau rumput akan segera membeku yang disebabkan karena suhu udara yang sangat dingin, ketika mencapai minus atau 0 derajat,”tambahnya.
Sementara Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie menerangkan kalau berdasarkan pengamatan di lereng pegunungan Dieng pada awal Juli lalu, memang cukup dingin.
Ia mengungkapkan fenomena bun upas, tentu saja disebabkan oleh suhu ekstrem, antara 0 derajat Celcius sampai minus. Inilah mengapa kemudian muncul embun beku. Apakah kemungkinan embun beku masih bisa terjadi lagi? Setyoadjie memperkirakan bisa saja terjadi. “Embun beku masih berpotensi muncul lagi di dataran tinggi Dieng. Kalau waktunya tidak bisa dipastikan. Namun, kemungkinan terjadi masih ada, karena puncak musim kemarau di Banjarnegara diperkirakan pada bulan Agustus. Namun demikian, durasi fenomena embun beku tidak lebih dari seminggu,”katanya.
Fenomena embun beku terjadi pada saat suhu di titik beku. Di wisata Dieng memang potensial terjadi, apalagi kawasan itu memiliki ketinggian 2.093 mdpl.
Posting Komentar untuk "SUHU EKSTRIM DIENG BUAT PETANI SAYUR KEWALAHAN"